Saturday, December 5, 2015

Orang Utan Mata Sendu


Mata yang Sendu.. seolah-olah ingin menangis

Itulah yang ada di benakku begitu melihatnya.
Entah apa yang ia pikirkan, aku sungguh tak tahu akan maksud maupun perasaannya.
Karena aku belum pernah berinteraksi langsung dengannya, terlebih di tempat hidup aslinya.
Aku hanya bisa melihatnya lewat gambar, foto, video, maupun ia yang hidup dalam suatu tempat yang dibatasi oleh besi/kayu disekelilingnya.
Bagaimana ya rasanya bersentuhan langsung dan bermain bersamanya?

Mata yang Sendu.. seolah-olah menginginkan sekaligus memancarkan kasih sayang dari lingkungan sekitarnya.

Yang menurut kebanyakan  orang saat ini sudah tidak bersahabat dengannya sehingga keberadaannya pun menjadi langka dan perlu untuk dilindungi.
Tempat hidup aslinya pun tak jarang bahkan telah diakusisi oleh makhluk sepertiku yang mempunyai sifat alami tidak pernah puas atas apa yang dimiliki sehingga terkadang suka kelewat batas dalam memanfaatkan apa yang tersedia / bisa diakses.
Apakah kamu baik-baik saja?

Terkadang terselip rasa iba terhadap si mata sendu.

Tapi mungkin mereka tak sesedih yang terlihat.
Entahlah, aku hanya bisa bertanya dan mengira-ngira.
Mungkin suatu saat aku mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dan bermain dengannya di tempat hidup aslinya yang belum terkurung oleh besi/kayu.
Melihatnya berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya pasti rasanya amazing.

Mata yang Sendu.. engkau layaknya manusia yang memiliki kecerdasan serta emosi yang beragam.

Kepolosan, ketulusan, keberanian, ketakutan, keserakahan, kesedihan, dan ketidakberdayaan.
Walaupun dunia ini selalu berubah, semoga kamu bisa tetap bertahan dan beradaptasi dengan caramu sendiri ya.
Kamulah satu-satunya warisan dunia yang sangat iconic dan sungguh beruntung kamu hadir di negeri tercinta ini.
Semoga suatu saat kita bisa bertemu dan bisa saling menjaga ya wahai kamu yang bermata sendu.



-Santi Rahmawati-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting

Ziarah

"Mi, kalau dipikir-pikir kita temenannya lama juga ya? Aku lupa sudah berapa tahun, tapi aku punya banyak ingatan spesifik tentang berbagai kejadian kualamin sama kamu.

"Inget nggak sih waktu kita berdua nonton Festival Film Prancis di BIP? Waktu itu dapetin tiketnya gampang karena peminat film Prancis di Bandung belum banyak. Kita nggak terlalu ngantri waktu ngambil dua tiket buat dua kali screening. Aku masih ingat cerita salah satunya, yang satu lagi lupa. Film pertama yang kita tonton tentang orang utan betina di sebuah kebun binatang di Prancis. Namanya Nénette. Badannya besar, rambut di kepalanya berponi. Kalau Nénette manusia mungkin dia seperti seorang ibu yang anak-anaknya sudah pada dewasa. Sepanjang film dia keliatan sedih, memandang jauh melampaui pemandangan di balik kaca kadangnya. Dia cuek saja sama para pengunjung yang mengajaknya bicara. Dia cuma mau gerak waktu pemberian makanan, atau waktu dikunjungi anaknya Tübo. Seingetku filmnya cuma gitu doang. Nggak heran di tengah film orang-orang mulai gelisah, lalu satu per satu keluar dari teater. Tapi, sama seperti Nénette, kita tetap duduk di tempat kita. Kamu bilang, kamu juga bakalan sedih seandainya dikurung di rumah kaca seumur hidup kamu.

"Kita juga pernah ke kebonbin, kan? Waktu itu kita berdua lagi sama-sama sedih meski sebabnya berbeda. Eh tahunya sepulang dari kebonbin kita malah tambah sedih. Kaki gajahnya dirantai, dan dia kelihatan kurus. Rasanya dobel sedih aja, hewan yang nature-nya besar dan gemuk kok malah kelihatan kurus begitu.

"Kamu nggak suka dijodoh-jodohin sama Darma. Kamu bilang secara fisik, Darma yang badannya bulet bukan tipe kamu banget. Padahal Darma baik, dia mau nganterin kamu ke mana-mana. Ke kampus. Ke rumah. Ke rumah sakit. Cuma dia yang kuat ketika kamu lebih sering ke rumah sakit daripada ke kampus. Kita bertiga pernah makan makan malam bareng-bareng, dan dia maksa buat mentraktir kita semua. Padahal yang dia suka kan cuma kamu. Kamu juga nggak tahu diri ya, pesan macam-macam tapi nggak dihabisin. Alhasil malam itu aku dan Darma pulang dengan perut yang makin buncit. Ya makin jauhlah dia dari tipe fisik ideal cowok yang kamu suka. Kamu sengaja ya?


"Dan inget nggak, Mi? Sambil nunggu pemutaran film kedua, kita ke depan BIP buat beli syal. Dulu di sana orang masih boleh jualan. Waktu itu hujan. Hari sudah gelap. Pedagang kaki lima pakai lampu neon kuning buat menerangi dagangannya. Aku bingung antara syal putih atau oranye. Kamu bilang oranye. Tapi waktu kita masuk lagi ke mall, aku sadar bahwa di bawah sinar lampu normal syal itu sebenarnya berwarna pink! Kamu ngakak, lalu bilang yang 'normal' itu sebenarnya lampu yang di luar. Kita lalu menukar lagi syalnya dengan yang warna putih. Syalnya masih kusimpan, walau sekarang warnanya sudah kekuningan.


"Kamu paling seneng ngejekin aku. Bilang bahwa aku suka cowok bertubuh bulat. Waktu ke kebonbin, tiap ngeliat beruang, orang utan, ataupun babi, muncratlah dari mulutmu satu per satu nama orang dari masa laluku. Apaan sih? Nggak selalu gitu tahu. Haris kan kurus ... Tapi sayang kalian nggak sempat ketemu ... Nggak enaknya adalah tiap kali  meluk dia, aku merasa seperti meluk karpet yang digulung.

"Yang betul itu, secara fisik aku suka orang berdasarkan tatapan mata dan senyum yang terbuka. Coba deh dari atas sana kamu lihat mata orang utan? Keliatan, nggak? Sudah? Matanya seolah nggak menyimpan rahasia, kan?"


-Andika Budiman-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting

Boneka, Kita?

Hari ini aku pingin tidur. Seharian! Capek rasanya berkegiatan selama seminggu tanpa hal yang membuatku ingin. Bosan. Tapi mengingat wajah bosku yang bakal pasang muka asem kalo aku bolos membuatku mau gak mau turun dari kasur ke lantai dan melangkah jauh lebih lemes dan kaku dari zombie yang baru bangkit dari kubur. Huh, gini nih nasib kalo jadi karyawan!
Salah satu teman saya mengajak saya untuk keluar hari ini. Katanya dia akan mentraktir saya makan sembari mengenalkan saya pada pacar barunya. Sebenarnya saya enggan tapi mau bagaimana lagi, rezeki kan tak boleh ditolak. Walaupun sebenarnya berleha-leha di rumah tentu lebih asyik sambil mendengarkan lagu dari penyanyi favorit saya dengan pintu dan jendela balkon yang terbuka lebar. Merasakan hembusan angin sepoi tentu lebih nikmat daripada berpanas-panasan di hari libur seperti ini. Dan saya tetap saja keluar rumah demi kebahagiaan teman!
Anjriit.. Kenapa kesini? Waduh ni tempat busuk banget dah! Gini nih kalo travelling bareng sama orang yang doyannya liburan ala selebritis kayak mereka. Tau gini gue solo travelling aja deh timbang nyasar ke mall dengan carrier di punggung yang tentu gak matching di tempat kayak begini. Naas banget hidup gue yang mempercayakan liburan kali ini sama rombongan travel macam gini. Oh Tuhan, keluarin aku dari sini secepatnya pleaseee!!
Astagfirullah… Jam berapa ini? Aduh kalo Ummi tau ane masih belom berangkat ke mesjid jam segini, pasti udah ngomel tujuh turunan. Belom lagi kalo di tambah dengan laporan sama Abi. Ah, tapi Ummi kan jauh di kampung, gak bakal tau ini kan? Tapi kok tegangnya masih sama kaya kalo dipelototin sama Beliau ya? Sip deh Ummi tenang aja, ane masih inget sama Tuhan kok biar Ummi jauh disana. Sarung mana sarung?
“Hai cantik, seksi banget deh kamu.” Andi sudah siap menjemputku di depan rumah dengan mobil ayahnya. “Tadinya aku mau pake celana jeans dan cardigan soalnya malem ini dingin banget deh!” sahutku sambil menggosok punggung tanganku. Sambil menarik tanganku ke pintu mobilnya Dia berkata, “Aduh kamu kayak nenek-nenek Sayang kalo pake cardigan!”. Hmm.. Dia memang gak suka liat aku dengan cardigan favoritku. Cardigan pemberian dari Ayah di hari Natal dua tahun yang lalu. Cardigan itu cantik berwarha hijau tosca ditambah ornamen bunga-bunga lili kecil di bagian leher dan pergelangan tangannya. Ayah bilang aku manis sekali dengan cardigan itu dibandingkan dengan pakaianku malam ini, celana hotpants dan kemeja putih gombrang berbahan katun tipis. “Tenang saja kalo kamu kedinginan nanti aku yang bakal angetin kamu Sayang” bisiknya sambil membelai pahaku.
Manusia itu makhluk sosial. Saking sosialnya mereka sangat peduli apa yang orang bilang tentang mereka. Mau begini dan begitu masih saja berfikir tentang pendapat orang lain. Syukur kalo emang beneran mikir, tapi kalo ternyata begini begitu karena demi orang lain? Kayak boneka!
Boneka itu jelas benda mati. Mau di mainin tiap hari atau seminggu sekali, dipajang, disimpan atau dilempar ya terserah sama yang punya. Karena mereka kan benda mati, gak bisa bergerak sendiri. Bedanya sama kita?  Kita ini jelas hidup, punya perasaan, berakal dan bisa berpikir. Lalu kenapa kita harus selalu denger dan peduli kata orang jika kita sudah tahu mana yang benar atau salah? Kenapa kita selalu mau mengerjakan sesuatu agar sesuai dengan ekspetasi dan harapan orang tanpa perduli sama rasa nyaman untuk diri kita sendiri? Coba, berapa kali kita melakukan sesuatu yang murni kita lakukan karena kita mau bukan karena kita harus? Kita ini bisa jadi boneka hidup. Jiwa ini empunya, fisik ini ya bonekanya. Cerita apa yang mau kamu mainkan hari ini, ya tinggal kamu sendiri yang bikin alur ceritanya. Bukan dia atau mereka.

-artahartasemesta-
221015
Cabe Garam
CS Bandung Writers' Club 4th Meeting

Gelembung Sabun

Itulah aku
Indah bulat mengkilap
Melayang terbang kemana angin membawa
Menciptakan kegembiraan
Penuh tawa riuh suaranya
Hanya seketika
Lalu lenyap menghilang
Setelah meletup dan menyisakan wanginya di udara
Dan kegembiraan masih akan berlanjut
Dengan atau tanpa aku

-artahartasemesta-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

Krisis Lingkungan di Indonesia

Apa sih artinya krisis? Hal yang pertama kali terpikirkan di kepala adalah sesuatu yang bikin hati sama perasaan deg-degan dan gak nyaman. Hal yang bisa saja terjadi di segala lini kehidupan dari sosial, lingkungan, pribadi bahkan yang paling berasa kalau sudah menyangkut soal ekonomi dan keuangan. Ah sepertinya terlalu basi untuk membahas yang namanya krisis lingkungan di Indonesia apalagi ngebahas soal kebakaran hutan dan asap di negeri kita ini. Maaf bukannya gak peduli sama keadaan saudara dan keluarga kita di sana tapi untuk taraf rakyat kayak saya sih bukan levelnya untuk mengkritisi. “Yaa da aku mah apa atuh?” kalo mengutip celotehan anak jaman sekarang.
Ngomongin soal lingkungan buat saya bukan cuma sekedar ngomongin alam yang warnanya akan didominasi oleh warna hijau dan biru saja. Lingkungan itu menurut saya ya kita ini; kita, mereka, dia, aku dan kamu. iya kamu! Dan dengan kesadaran penuh saya bilang kalo kita memang sedang mengalami krisis lingkungan. Yang menurut saya adalah kita ini mengelami krisis dengan lingkungan sekitar kita, krisis hubungan antar sesama manusia.
Saat ini adalah saat dimana manusia satu dengan manusia lain akan bertemu dengan segala keterbatasan. Keterbatasan akan Sinyal, pulsa, daya batrai bahkan merk gadgetnya. Dan parahnya kita masih merasa cukup dan berbahagia dengan itu semua. Sebuah batasan kebahagiaan yang berhenti pada titik cukup untuk saling berbalas pesan singkat, bertukar cerita lewat suara ataupun gambar. Ya jika memang jarak wilayah yang tergolong cukup jauh memang bisa dimaklumi. Tapi nyatanya kehidupan masa kini memang sudah sangat berjarak walaupun keberadaannya dekat. Bahkan ketika sudah bersebelahan! Musnah sudah makna bersentuhan dan bertatap muka, saling memandang secara langsung. Dengan mengetahui kabar kawan dan saudara melalui celotehan atau foto terbaru saja, kita cukup berbahagia. Apa sesederhana itu makna kebahagiaan yang sesungguhnya? 
Belum selesai dengan jarak yang tak dapat terjangkau dengan tangan, lalu bermunculan berbagai istilah yang menambah panjang jarak tersebut. Ketika kita ingin berbaik hati menjadi peduli dengan situasi dan kondisi yang menimpa seseorang, maka istilah Kepo akan melayang menampar pipi kita. Lalu ketika kita meluapkan semangat kita secara berapi-api dan menjadi sedikit perfeksionis terhadap hal-hal detail yang menjadi perhatian dan minat kita, maka istilah Rempong menjambak kita dengan keras. Belum lagi kalau tiba-tiba kita memberikan sedikit sentuhan romantis, melankolis dan penuh perasaan dalam berpendapat, istilah Galau atau Curcol akan mencincang kita secara brutal. Lalu semua istilah itu akan keluar dari mulut seseorang disertai senyum sinis bahkan bisa menjadi bahan tertawaan. Ah!
Dan satu lagi istilah terbaru, Baper! Entah kenapa sejak pertama kali saya mendengar istilah tersebut rasanya gak nyaman dan terlalu kasar untuk diuangkapkan. Di saat kita meiliki sebuah ide yang kemudian ditimpali secara urakan yang akhirnya membuat kita sedih, tersinggung bahkan marah, orang tinggal bilang “Ah kamu Baper sih anaknya!”. Kemudian segalanya akan berhenti disitu. Gak bisa komentar lagi atau sekedar membela diri karena gengsi. Padahal apa salahnya sih Baper? Memangnya salah jika melibatkan perasaan untuk hal-hal yang terjadi di sekitar atau di lingkungan kita? Astaga, mungkin benar ternyata kita sedang dilanda krisis lingkungan di saat orang-orang sudah mulai malas melibatkan perasaan, mulai gak pake perasaan atau mulai meremehkan perasaan orang lain. Ini baru namanya krisis!!
-artahartasemesta-
081015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 2nd Meeting

Orangutan di Ibu Kota

Aku adalah seorang pria yang terjebak di hirup pikuk kota Jakarta,
Dimana kita di tuntut untuk mempunyai pekerjaan dan tidak punya
pilihan untuk menghirup aroma - aroma khas di jalanan.

aku juga harus menghadapi orang-orang bertopeng, berdasi dan yang mampu
mengeluarkan pisau dari sakunya.

Bertahun-tahun terjebak dengan rutinitas yang sama di kota Jakarta.
Kota Jakarta.

Kota...

Aku rindu masa kecilku yang riang juga gemar bergelantungan di pohon
mangga belakang rumah nenekku dan menjuluki diriku sendiri "Orang
Utan"

-I. Bilhaqy-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting

Orangutan

Halo. Aku orangutan.

Kamu pernah mencintaiku, lho. Kamu menunggu-nungguku pukul empat sore sambil membayangkan dunia imajinasi yang menyenangkan. Saking sayangnya padaku, kamu meremasku sekuat tenaga. Mungkin gemas. Mungkin tidak sabaran. Tidak seperti sebagian kawanmu yang merawatku baik-baik dalam kamar berharganya.

Tapi aku cinta kamu, kok. Meski hanya dua puluh menit. Aku ingat saat itu aku digenggam olehmu menyusuri jalanan komplek yang sepi. Lalu kau berlari membawaku sepanjang pematang sawah. Melompati selokan. Melompati sungai. Melompati jembatan.

Menit ketiga belas kamu bilang kamu bingung, mah gulali kapas atau bp-bp-an. Aku tidak tahu mana yang harus kusarankan. Kamu menghabiskan waktu meminta saran kawanmu juga. Pada akhirnya, kamu mau gulali kapas saja. Dan kamu meninggalkanku bersama anak baru.

Tidak apa-apa. Toh aku akhirnya ketemu anak manis lain seperti kamu. Anak yang ini mulai menceritakanku bahwa di pepohonan, selain aku, mungkin ada kuntilanak. Aku tertawa dan merasa lucu. Karena seumur hidup, aku tidak pernah ketemu kuntilanak di atas pohon.

Tidak apa-apa. Aku suka imajinasimu sebagai anak-anak. Meski tentang kuntilanak. Namun sayang ya, hari ini tidak ada anak-anak yang menungguku lagi, seperti kamu.

Bahkan kamu tidak pernah menungguku lagi. Hari ini, setidaknya, Sultan Mahmud Badarudin yang ditunggu-tunggu. Aku, orangutan, mulai dilupakan. Apalagi sejak koin perak itu sukses menggantikanku.

Tidak apa-apa. Aku paham. Setidaknya aku pernah menghiasi sejarahmu. Membuatmu berdebar-debar memilih mainan yang ingin kaudapatkan. Setidaknya aku pernah membantumu memiliki gulali kapas.

Sampai jumpa, dari aku orangutan yang duduk di atas pohon.

-Moemoe Rizal-
261115
Kupu Bistro
CS Bandung Writers' Club 9th Meeting