Friday, October 23, 2015

Gelembung Sabun

Katanya, pada suku tertentu, anak-anak diberi nama berdasarkan benda pertama yang dilihat sang ibu, sesaat setelah sang anak lahir.  Kursi. Meja. Bantal. Kusen.

Saya tidak lahir dan dibesarkan di tengah suku itu. Tapi entah mengapa, ibu memilih menamai saya berdasarkan benda pertama yang dilihatnya sesaat setelah kelahiran saya. Gelembung Sabun. Kok bisa-bisanya ibu melihat gelembung sabun setelah kelahiran saya? Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya?

Nama Gelembung Sabun bukan bagian terburuk. Panggilan sayalah yang paling parah. Embung (yang dalam bahasa Sunda kasar artinya "tidak mau"). Akibat nama itu, sepanjang waktu saya menjadi bulan-bulanan. Sejak kecil saya sudah mengalami kerasnya hidup sebagai kaum terhina dan tercerca.

Bukan satu-dua kali saya bertanya kepada ibu, kenapa tega-teganya ia menamai saya "Gelembung Sabun" dan memanggil saya "Embung". Tapi jawaban ibu selalu sama.

"Gelembung Sabun itu cantik sekali, Embung. Ibu ingin anak ibu secantik gelembung sabun."
"Tapi, Bu, kan banyak hal cantik lain selain gelembung sabun. Kenapa harus itu yang jadi namaku?"
"Karena itu benda pertama yang ibu lihat di saat kamu lahir," kata ibu sambil menatap saya, seakan-akan peristiwa itu mengharukan.

Selama bertahun-tahun, saya menyandang nama apaan deh itu, sambil berusaha mencari informasi untuk berganti nama secara resmi. Sampai pada suatu hari, saya tahu mengapa sebetulnya ibu menamai Gelembung Sabun dan memanggil saya Embung.

Kamu tahu kisah "Little Mermaid" yang ditulis Hans Christian Andresen? Kisah itu sesungguhnya nyata. Tersebutlah puteri duyung cantik yang jatuh cinta pada seorang pangeran. Singkat cerita, setelah berbagai kekusutan yang terjadi, di akhir kisah puteri duyung dititah untuk membunuh sang pangeran. Ketika melihat sang pangeran, puteri duyung itu lantas "embung" membunuh pujaan hatinya. Ia memilih membunuh dirinya sendiri, dan menjelma menjadi gelembung-gelembung yang terbang memintas samudera dibawa angin dan nasib.

Saya adalah gelembung yang terbawa sampai ke pantai Pangandaran. Perempuan yang saat ini saya sebut ibu adalah pedagang ikan asin di pinggir pantai. Ketika melihat saya, ibu terpesona. Ia yang sudah bosan memandangi ikan asin, memperhatikan ke mana saya terbang. Tiba-tiba saya pecah di udara dan menjelma menjadi bayi perempuan, terbang seringan bulu ke gendongan ibu.
Lalu kenapa harus gelembung sabun? Saya kan gelembung saja. Dan dari mana juga saya tahu asal usul saya yang sesungguhnya ini?

Sudahlah, terlalu aneh untuk diceritakan. Tidak usah, ya? Saya sudah lelah ... 

Voted as 2nd favorite story of the night

151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

Tuesday, October 20, 2015

Gubuk di Tepi Hutan

Alkisah di sebuah negeri antah berantah, tinggallah seorang lelaki di dalam gubuk di tepi hutan. Lelaki itu sudah cukup berumur, namun nampaknya belum ada niat dari dirinya untuk menikah. Mungkin itupun alasan mengapa dia memilih untuk tinggal jauh dari pedesaan. Agar tidak perlu mendengar gunjingan tetangga-tetangga yang mempertanyakan statusnya yang masih lajang. Bukan berarti dia tak menginginkan keturunan. Hanya saja belum bertemu jodoh yang tepat. 

Tiap hari dia pergi ke dalam hutan, mencari binatang untuk diburu ataupun buah-buahan yang jatuh dari dahannya. Terkadang jika beruntung dia bisa membawa banyak makanan, namun tak jarang dia pulang dengan tangan hampa. Alih-alih menggerutu, dia selalu bahagia apapun hasil yang dia dapatkan di dalam hutan.

Suatu hari ketika dia berada di dalam hutan, dia menemukan bagian hutan yang belum pernah dia sentuh. "Aneh, rasanya aku belum pernah melihat tempat ini sebelumnya" ujar lelaki itu keheranan. Rasa penasaran membuatnya memasuki jalan setapak yang ada. Ternyata jalan itu berakhir di sebuah danau kecil yang airnya sangat jernih. Tampak sinar matahari dari celah dedaunan pepohonan memantul di atas danau itu. "Wah airnya tampak menyegarkan" pikirnya sambil memutuskan untuk membuka kaosnya dan berenang di danau itu. 

Tak lama berselang, sang lelaki itu sampai di tengah danau. Awalnya dia tidak sadar bahwa dari tengah danau itu keluar gelembung-gelembung sabun. Tanpa sengaja dia memecahkan gelembung itu ketika dia bermain air di sana. Tiba-tiba dari tengah danau itu keluarlah seorang makhluk kecil bersayap. Warnanya biru, secerah lazuardi di atas langit. 

"Hai kamu yang sedang berenang. Ada apa kamu memanggil aku?" tanya makhluk mungil tersebut. 

Dengan terkejut lelaki itu mencari sumber suara tersebut. 

"Maafkan peri kecil, aku tak bermaksud mengganggumu." 

"Tak mengapa. Sudah lama tak ada yang mampir di danau ini. Aku senang bisa bertemu denganmu. Siapa namamu?"

"Paul, dan kau?"

"Aku biasa dipanggil Aria. Aku adalah peri mimpi. Aku bisa mengabulkan mimpimu. Apa kau mau?" 

"Mimpi apapun?" tanya Paul dengan nada tak percaya. 

"Ya, tentu saja. Apa mimpimu Paul?"

"Aku ingin memiliki keluarga kecil, mungkin seorang anak."

"OK, ayo ikut aku ke tengah danau"

Paul pun berenang mengikuti Aria yang terbang di atas danau itu. Sesampainya di tengah danau, Aria tiba-tiba masuk ke dalam danau. Saat itupun Paul merasakan arus kuat dari dalam danau menarik kakinya. Sekuat tenaga dia berusaha melawan arus itu , menghentakkan kakinya dengan cepat agar bisa berenang ke tepi danau. Apa daya arusnya yang begitu kuat terus menariknya hingga ke dalam danau. Belum sampai ke dasar danau, Paul telah kehilangan kesadarannya.

Ketika dia tersadar kembali, matanya mulai beradaptasi dengan sekelilingnya. Ternyata dia terbangun di gubuknya sendiri. 

"Bagaimana aku bisa kembali ke sini? Bukannya aku tadi di tengah danau terhisap sampai ke dasar?"

Tak sempat dia berpikir, terdengar suara tangis bayi memecah keheningan malam. Tak jauh darinya terdapat buaian kayu yang berisi seorang bayi laki-laki. 

Dan akhirnya Paul hidup bahagia selama-lamanya.

-Mikael Setiawan-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

Gelembung Sabun

Kata siapa gelembung sabun lebih banyak berarti mencuci lebih bersih?

Mungkin sunlight yang yakin efek busa mereka membersihkan lebih bersih. Tapi begitu ketemu sama lemak makanan padang, baru beberapa piring sabunnya juga hilang. Apalagi kalau yang dicuci panci besar bekas masak.. gulai kikil misalnya? Digosoknya juga mesti lebih kenceng. Orang-orang jaman dulu pasti ga setuju, mereka yang mencuci pakai abu gosok ga peduli kok banyak apa nggaknya busa yang penting piring setelah dicuci jadi keset.

"Dek nyuci piring kok lama banget, cepetan pancinya mau mama pake masak!"

Suara mama tiba2 mengagetkanku dari lamunan. Lamunan random gegara kesal dalam hati, sudah siap-siap mau pergi janjian sama temen malah disuruh nyuci piring sebelum pergi.

-Indah-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

Krisis Lingkungan di Indonesia

Ketika rindu menjadi pertanyaanmu, disitu aku tersadar telah belajar sedikit. Akan arti pertemuan dan kata, maupun jarak dan suara.

Hadirmu yang tak selalu ada bukan berarti rasa akan menguap pergi. Cintaku akan selalu di tempatnya, dengan sabar menunggumu kembali.

Wanita itu berhenti menulis. Sesak di dadanya kini sedikit berkurang. Dengan hati-hati ia melipat lembaran putih itu menjadi pesawat kertas, kemudian tanpa ragu menerbangkannya. Angin tak cukup kencang sore itu, hembusannya hanya cukup kuat membawa pesawat kertas itu meluncur dekat kakinya. Tak bisa mencapai hamparan edelweis, tempat pertemuan pertamanya dengan kekasih hati, yg kini berubah menghitam akibat kebakaran.

-Indah-
081015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 2nd Meeting

Your Smile

I still remember how we started.
It was Sunday afternoon. There were lots of clouds in the sky but it wasn’t raining.
It was the perfect weather to snuggle under the blanket on your bed. Yet, I decided to get out of the house and stroll around the park.
There were lots of benches in the park, but I don’t know why I chose to sit on that one wooden bench by the lake.
All of a sudden, you sat next to me. You were the one who spoke first.
“Hi there!” you said, with a smile.
The same smile I’ve seen everyday for the last seven years, when I wake up.
-Mikael Setiawan-
011015
Yellow Truck
CS Bandung Writers' Club 1st Meeting

Friday, October 16, 2015

Gelembung Sabun

Setiap kali pandangan kami bertemu, ia selalu menaikkan alisnya, lalu tersenyum singkat seakan kami menyimpan rahasia. Gerakan itu membuat saya merasa suka. Saya ingin segera menghentikan pekerjaan saya dan melompat ke hadapannya, lantas bercerita tentang apapun yang saya pikirkan saat itu. Saya bukan karyawan teladan, pekerjaan tidak selalu mengisi ruangan terbesar di dalam benak saya.

Awalnya kami adalah teman kerja. Ruangannya terletak persis di sebelah ruangan saya. Tadinya tidak ada pintu yang menghubungkan kedua ruang itu. Namun, sejak dia diputuskan bergabung dalam tim kami, dinding yang memisahkan antara ruangan kami dijebol -- seukuran pintu -- yang memungkinkan bagi kami untuk ke ruangan satu sama lain dengan leluasa. Namun kami tidak serta-merta melakukannya. Yang pertama kali melintasi pintu itu bukanlah langkah kami, melainkan suara-suara. Dia suka bercanda, mengundang tawa saya datang ke ruangannya. Lama-lama yang datang tak hanya tawa, tapi juga tubuh saya beserta segenap kegembiraan dan kesedihan yang ada di dalamnya. Kami tak lagi hanya jadi teman kerja, tapi juga teman dalam artian sesungguhnya.

Biasanya kami saling berbagi perasaan kami setelah jarum jam menunjukkan angka lima. Seperti kertas surat yang membuka lipatannya sendiri saat dia keluar dari amplopnya. Tidak ada yang memaksa. Esok harinya, ketika kami bertemu lagi di kantor, apa yang diucapkan kemarin tidak akan lagi diucapkan. Hal itu tidak kompatibel dengan rutinitas kami sebagai karyawan. Dengan tanggung jawab dan tugas yang mesti kami kerjakan sehari-hari. Sampai jarum jam kembali menunjukkan pukul lima, dan kami saling memasuki ruangan yang lainnya.

Kami seperti dua orang dewasa yang masih suka main gelembung sabun. Gelembung yang bentuknya indah, walau tidak selalu bulat sempurna. Meskipun  dia segera pecah, wanginya mengharumkan ruangan kami hingga keesokan harinya.

-Andika Budiman-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

Gelembung Sabun

Tidak, aku tidak akan turun ke halaman dan memutar sprinkler. Aku tidak akan membiarkan air melompat lalu aku berlari mengejar. Bukan soal air yang kusia-siakan. Bukan soal tampil kekanak-kanakan. Aku juga yakin tetangga tidak akan mengintipku.

Ini soal aku yang memang enggan.

Tujuanku ke sini minum kopi. Meracik bubuk-bubuk pahit dan mencampurnya dengan susu. Namun bukan untuk menikmatinya. Hanya untuk mengenang cerita yang pernah tercipta.

Dan hingga detik ini, aku belum meracik sesendok juga.

Tidak, aku tidak akan melompat ke ayunan dan menari di atasnya. Aku tidak akan membalik tubuhku hingga rambutku bersurai ke atas rumput. Bukan soal ayunan itu sudah tua. Bukan soal tubuhku yang terlalu banyak massa. Aku juga yakin pantatku masih muat di ayunan berderit itu.

Ini soal aku yang memang enggan.

"Main ini saja," sahut seseorang sambil meniup gelembung sabun.

Aku menoleh dan mengerutkan alis. "Aku bukan anak-anak lagi, Bu."

"Ah, nggak perlu jadi anak-anak untuk bermain gelembung sabun."

Aku sebenarnya enggan. Namun aku tidak ingin mengecewakan ibuku. Jadi, baiklah, untuk yang satu ini aku mau bermain. Akan kutinggalkan nostalgia kopiku demi mencipta balon-balon deterjen di udara.

"Gimana kabar kamu?" tanya Ibu, sambil meniup satu gelembung sebesar bola tenis.

"Kabar baik, Bu. Aku dapat pekerjaan baru sekarang," jawabku, meniup gelembung sebesar bola sepak. Ibu kalah. Haha. "Gimana kabar Ibu?"

"Kabar baik juga. Ibu sedang asyik main gelembung sabun akhir-akhir ini." Ibu meniup gelembung sebesar kepala manusia. Ibu masih kalah.

"Kenapa gelembung?" tanyaku lagi, meniup gelembung sebesar bola basket.

Ibu meniup untuk terakhir kalinya. Gelembung sebesar lampion halaman depan. "Karena main gelembung selalu mengingatkan Ibu pada kamu, Nak."

Aku tersenyum senang dan memutuskan untuk tak meracik kopi. Aku akan main gelembung sabun saja.
Ibuku meninggal lima tahun lalu. Kanker payudara. Hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Selamat ulang tahun Ibu.

151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting