Friday, October 16, 2015

Gelembung Sabun

Setiap kali pandangan kami bertemu, ia selalu menaikkan alisnya, lalu tersenyum singkat seakan kami menyimpan rahasia. Gerakan itu membuat saya merasa suka. Saya ingin segera menghentikan pekerjaan saya dan melompat ke hadapannya, lantas bercerita tentang apapun yang saya pikirkan saat itu. Saya bukan karyawan teladan, pekerjaan tidak selalu mengisi ruangan terbesar di dalam benak saya.

Awalnya kami adalah teman kerja. Ruangannya terletak persis di sebelah ruangan saya. Tadinya tidak ada pintu yang menghubungkan kedua ruang itu. Namun, sejak dia diputuskan bergabung dalam tim kami, dinding yang memisahkan antara ruangan kami dijebol -- seukuran pintu -- yang memungkinkan bagi kami untuk ke ruangan satu sama lain dengan leluasa. Namun kami tidak serta-merta melakukannya. Yang pertama kali melintasi pintu itu bukanlah langkah kami, melainkan suara-suara. Dia suka bercanda, mengundang tawa saya datang ke ruangannya. Lama-lama yang datang tak hanya tawa, tapi juga tubuh saya beserta segenap kegembiraan dan kesedihan yang ada di dalamnya. Kami tak lagi hanya jadi teman kerja, tapi juga teman dalam artian sesungguhnya.

Biasanya kami saling berbagi perasaan kami setelah jarum jam menunjukkan angka lima. Seperti kertas surat yang membuka lipatannya sendiri saat dia keluar dari amplopnya. Tidak ada yang memaksa. Esok harinya, ketika kami bertemu lagi di kantor, apa yang diucapkan kemarin tidak akan lagi diucapkan. Hal itu tidak kompatibel dengan rutinitas kami sebagai karyawan. Dengan tanggung jawab dan tugas yang mesti kami kerjakan sehari-hari. Sampai jarum jam kembali menunjukkan pukul lima, dan kami saling memasuki ruangan yang lainnya.

Kami seperti dua orang dewasa yang masih suka main gelembung sabun. Gelembung yang bentuknya indah, walau tidak selalu bulat sempurna. Meskipun  dia segera pecah, wanginya mengharumkan ruangan kami hingga keesokan harinya.

-Andika Budiman-
151015
Coffindo
CS Bandung Writers' Club 3rd Meeting

No comments:

Post a Comment