Saturday, November 21, 2015

Kelingking

Saya tidak pernah bisa menggambar tangan dengan baik.

Jari-jari tangan kelihatan seperti lilin yang meleleh di gambar-gambar saya. Seringkali saya menggambarkan genggaman tangan dengan bentuk bulat saja, seperti bola ping pong. Padahal sesungguhnya ada banyak yang bisa dilakukan dengan tangan. Dia tidak hanya melakukan keperluan sehari-hari: makan, cebok, memasukkan anak kunci, menarik ritsleting, sampai mengupil. Tangan juga menyampaikan isyarat. Dia menyapa, menolak, mengusir, menyayangi, bahkan memberikan kehangatan kepada tangan lain yang digenggamnya.

Sahabat saya tertawa ketika saya bilang ingin lebih serius lagi belajar menggambar tangan. Untuk apa? Lebih baik saya belajar menggambar mimik wajah saja, katanya. Lebih baik begitu, karena saya bercita-cita menjadi komikus. Tapi saya tidak setuju. Bukankah seharusnya dia sudah tahu bahwa apa yang saya rasakan seringkali tidak sampai ke wajah saya? Saya pikir tangan saya menjawab pertanyaan lebih jujur daripada mata maupun suara saya.

***

Saya senang menggambar, tapi saya takut tidak bisa hidup berkecukupan bila yang saya lakukan hanya itu. Saya tidak percaya ada cukup bakat dalam diri saya, bahwa akan ada perkembangan yang berarti bila saya terus berupaya menggambar keseharian saya.

Ketika sebuah majalah wanita menawarkan saya pekerjaan sebagai penyunting ilustrasi rubrik tata boga, saya menyambut dengan senang hati. Saya percaya kalau saya bisa melakukannya. Meskipun pekerjaan ini membawa saya pergi dari kota kelahiran saya. Saya mesti berpisah dari sahabat saya yang tetap tinggal di kota itu. Pada hari keberangkatan, dia kelihatan begitu sedih. Saya bilang, tidak usah khawatir. Kita tetap bersahabat. Saya tetap akan berkabar dengannya, mungkin lewat surat, email, atau apalah ... jarak geografis tidak akan mempengaruhi kedekatan hati kami, begitu janji saya kepadanya.

Namun, gerak-geriknya tetap gelisah. Genggaman tangannya basah. Seperti ada yang ingin dia sampaikan, tapi seolah kata-kata juga pergi meninggalkannya.

***

Saya lupa kapan terjadinya perpisahan itu. Waktu berlalu. Sesuai dugaan, tidak perlu waktu lama bagi saya untuk terbiasa dengan kehidupan baru. Pekerjaan saya kini tidak banyak membutuhkan goresan pensil saya di atas kertas. Yidak perlu krayon, spidol, lem atau sapuan cat air. Biasanya saya cukup menjelaskan konsep ilustrasi yang saya inginkan dalam kata-kata, lalu dikirim via email. Lalu para ilustrator atau fotograferlah yang mengerjakannya.

Sudah lama juga saya tidak menggambar untuk kesenangan sendiri. Buku gambar dan komik-komik mini yang pernah saya buat disimpan dalam lemari. Sungguh tidak ada yang bisa dibanggakan. Angan-angan saya untuk menggambar tangan lebih baik tidak pernah dilaksanakan. Gerakan tangan saya semakin mekanis. Dia tidak pernah lagi sungguh-sungguh menyapa, menolak, mungusir, menyayangi, atau memberikan kehangatan pada tangan lain yang digenggamnya.

Lalu saya teringat janji untuk senantiasa memberi kabar kepada sahabat(?) saya. (Bisakah saya tetap menyebutnya begitu?) Saya sudah lupa kapan terakhir saya mengabarinya.

***

Sampai sekarang saya tidak bisa menggambar tangan dengan baik. Tapi mungkin saya bisa coba menggambarkannya dengan kata-kata.

Tangan kiri saya terdiri dari lima jari. Kuku-kukunya kehitaman. Nama jarinya jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking.



-Andika Budiman-
051115
Giggle Box
CS Bandung Writers' Club 6th Meeting


No comments:

Post a Comment